Phalanges

jinx-1

JINX (@jinxmotelpresents

PHALANGES

starred OH SEHUN & IM YOONA Ι special writting for amusuk’s request Ι drama, school-life, romance

Oneshoot (±3200 words)

Warning:

Typo (s), grammatical error, no feel

poster’s credit goes to Jungleelovely@SchoolArtDesign

.

.

Sudah berapa bungkus permen yang kuhabiskan? Aish, pelajaran ini benar-benar membosankan!

Kuambil lagi sebungkus permen kenyal dari dalam tasku, berharap rasa bosan ini juga terkunyah bersamanya. Andai saja aku masih di sekolah yang dulu, pasti tidak akan seperti ini. Oh, ya, aku lupa! Sekolah baru ini dapat membunuhku secara perlahan. Maksudku ‘membunuhku’ dalam arti yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin seorang ballerina sepertiku masuk ke sekolah biasa seperti ini? Belajar matematika, sejarah, antropoplogi, sastra — pelajaran yang seharusnya tidak ada dalam kamus kehidupan seorang Im Yoona. Aku, Im Yoona, tidak akan pernah sudi memaafkan orang yang telah memasukkanku ke dalam neraka ini — pria itu. Aku tak akan pernah memaafkannya. 

“Im Yoona-ssi, apa kau mendengarkanku?”

Ada yang memanggilku? Tampaknya Cho Songsaengnim menangkapku mentah-mentah. Segera kulepaskan headset dari kedua telingaku, serta kumuntahkan permen di mulutku.

“Ya, Cho Songsaengnim, aku mendengarkanmu dari tadi. Aku juga dengar kalau bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu.”

Aku rasa beliau berpura-pura tidak tahu tentang penambahan jam belajar paksa miliknya. Ini sudah kesembilan kalinya. Apa ia harus seambisius ini, eoh? Semenjak kepala sekolah Kim mengumumkan tentang rencana pensiunnya, ia berubah drastis. Obsesinya menjadi seorang kepala sekolah benar-benar mengagumkan.

“Apa kami sudah diperbolehkan pulang? Anda tahu kan kalau penambahan jam pelajaran tanpa instruksi dari kepala sekolah dan dewan pendidikan termasuk dalam pelanggaran tata tertib?”

Ekspresinya masih datar seperti tadi, “Kalau begitu, silakan pulang! Tapi, ingat tugas kalian harus dikumpulkan besok.”

Teriakkan teman-teman sekelasku cukup keras terngiang di telingaku. Pasti mereka belum mengerjakannya, pikirku. Syukurlah, aku sudah mengerjakannya dari minggu lalu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku beranjak dari kursiku. Keluar kelas, turun tangga, keluar pagar sekolah, naik bus, rutinitas siswi biasa. Membosankan! Aku ingin bahagia seperti dulu lagi.

 . .

“Yoong, jangan lupa acara malam ini ya!” Suara eomma bergema sepanjang tangga. Tidak terbesit sedikit pun niat untuk hadir dalam acara membosankan seperti itu. Hanya peresmian boutique milik temannya yang baru saja jadi.

Ne, eomma.” Jawabku lugas, meyakinkan beliau. Mungkin saja ia akan memarahiku kalau ia mendapati aku kabur lagi.

Kuperhatikan tumpukan baju yang sudah berlapis-lapis di atas kasurku. Apa yang harus kupakai? Lemari khusus gaun pun kubuka. Baru saja pintu kayu itu terbuka, mataku hanya terpusat pada satu titik — benda yang tergantung rapi dan terbalut plastik bening di bagian ujung. Leotard dan tutu berwarna merah muda itu sudah lama tak kulihat. Mungkin enam bulan sudah berlalu sejak terakhir kali aku memakainya. Berjalan anggun, melompat-lompat bak angsa putih di film-film disney, tutu yang berkibar cantik ketika berputar-putar, aku merindukan semuanya. Pikiranku bernostalgia ke masa-masa penuh tawa enam bulan silam.

Aish—

Andai saja aku mati waktu itu!

.

.

Rencanaku benar-benar sukses besar. Aku berhasil mengelabui eomma. Kubiarkan eomma berangkat seorang diri ke acara itu bersama supir Choi. Aku meminta izin untuk mengendarai mobilku sendiri. Awalnya, aku hendak menghabiskan waktuku dengan mengelilingi jalanan malam kota Seoul, tapi iklan di pamflet yang dibagikan di lampu merah tadi menarik perhatianku. Sebuah pertunjukan opera di gedung teater di pusat kota mungkin ide yang baik. Setidaknya aku perlu tiga sampai empat jam sebelum pulang ke rumah.

.

.

Gedung ini benar-benar luas. Syukurlah ada orang yang dipekerjakan khusus sebagai guide ke teater utama. Kursiku berada di deretan ketiga dari depan. Berhubung hanya tiket itu saja yang tersisa karena pembeli pertama menguangkan kembali tiketnya. Kurasa ini bukan kursi VIP, tapi pertunjukan dari tempat ini benar-benar sempurna. Sayangnya kursi di sebelahku masih kosong, padahal pertunjukan sudah berlangsung seperempat jam. Aku membayangkan diriku sendiri berada di atas panggung dengan tutu dan sepatu ballet menari kesana kemari. Walau cuma hayalan, itu cukup merangsang bibirku untuk tertarik ke sudur-sudutnya. Imajinasi itu semakin liar di kepalaku.

“Chogiyo, apa pertunjukannya sudah dimulai dari tadi?” Tanya seorang pria di sebelahku. Aku bahkan tidak kalau pemilik kursi di sampingku sudah datang. Suaranya yang sedikit berat membuyarkan imajinasi gilaku itu.

“Aku rasa sudah seperempat jam berlalu.”

“Chogiyo, aku ha … aku harus pergi se … sekarang.” Pria itu segera beranjak dari kursinya. Pasti ada yang tidak beres, pikirku. Tidak mungkin ia langsung pergi seperti ini.

Pria itu berjalan di depanku. Langkahnya sedikit tergesa-gesa. Aku belum bisa melihat wajahnya. Cahaya lampu di ruangan ini terlalu redup, mungkin untuk mendukung pertunjukkan. Seperti ada magnet yang menarikku, tanganku menarik tangan pria itu. Aku tidak bisa membiarkan pria itu pergi dengan meninggalkan rasa penasaran untukku. Ia terus saja menggoyangkan tangannya, berusaha melepaskan cengkramanku.

“Apa masalahmu? Kenapa kau langsung pergi seperti itu? Apa aku punya salah denganmu? Atau kau mengenalku, eoh?”

Pria itu masih menyembunyikan wajahnya, “Lepaskan aku, Yoong!”

Dia memanggilku dengan panggilan itu …

Aku rasa aku tahu suara siapa ini? Apakah ia benar-benar …

“Oh Sehun—”

Ia menoleh ke arahku. Entah kenapa aku ingin sekali memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Pria itu adalah pembunuh. Jawline-nya yang tajang, hidungnya yang runcing, bibir pucat dan tipis itu, aku mengenalnya. Andai saja memori-memori masa lalu itu dapat kukubur, aish! Oh Sehun — pria itu berlari meninggalkanku. membiarkan tubuh ini membatu seorang diri. Teriakan dari penonton lain yang merasa terhalangi olehku menambah denyutan di kepalaku. Sakit. Kecewa. Rindu. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Dadaku semakin sesak memikirkannya. Tapi, kebencian di dalam diriku semakin terbakar ketika melihatnya. Mungkin karena aku sempat mencintainya, makanya aku semakin benci melihatnya.

#Flashback#

Taman hiburan memang selalu ramai ketika weekend. Banyak pasangan yang menjadikan tempat ini sebagai wisata cinta mereka. Terlihat sepasang kekasih yang tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Jari-jari itu tersimpul manis diantara keduanya.

“Hun, aku mau itu, itu, itu!” Pinta sang yeoja pada kekasihnya itu — Oh Sehun, siswa dari kelas musik yang telah menjadi namjachingu-nya sejak 6 bulan yang lalu. 

Pria itu berpura-pura tidak mendengarnya. Pandangannya terpaling ke arah lainnya, menjauhi tatapan maut yeoja-nya itu — Im Yoona, siswa dari kelas dance, lebih tepatnya jazz ballet.

“Itu? Coba katakan yang jelas.” Balas Sehun, nada suaranya meninggi. Sudah lebih dari dua jam keduanya berkeliling. Ia kesal bukan karena waktu yang keduanya habiskan, tetapi karena kekasihnya itu selalu memilih wahana yang mereka masuki. Sedari tadi Sehun ingin sekali menaikki wahana yang memacu adrenalin seperti roller coster atau thunder booster, tetapi Yoona yang notabenenya fobia ketinggian selalu menolak. Itulah yang membuatnya kesal.

“Aku mau masuk itu, Hun, jebal!” Yoona menarik lengan kaos Sehun, memaksanya untuk melihat ke wahana target yang diincarnya. Sebuah wahana dengan huruf-huruf berbau gothic di atas pintu masuknya — Rumah Hantu.

“No, no, no!” Sergah Sehun cepat-cepat sebelum ia terbawa ke dalam tempat mengerikan itu. “Yoong, cari yang lain saja, huh? Kajja!”

Yeoja itu sadar kalau sang kekasih pasti mengacuhkannya. Hanya satu senjata rahasianya yang tersisa. Yeoja itu menempelkan kedua tangannya, menggosok-gosokkan jari-jari kurus itu perlahan. Matanya tampak sayu, hampir berlinang kristal bening itu. Suaranya sudah bagaikan suara anak kucing yang kehilangan induknya. Puppy eyes-nya pasti berhasil menaklukan hati kekasihnya itu.

 Melihat yeojachingu-nya hampir berlinangkan air mata, Sehun tak punya pilihan lain. “Arraseo, kajja!”

Sehun memimpin langkah keduanya masuk ke dalam wahana menakutkan itu. Senyum di wajah Yoona mulai tampak. Berbeda dengan raut wajah Sehun. Keduanya menaiki kereta dengan 10 deret kursi. Masih banyak tempat kosong. Tidak banyak pengunjung yang berminat memasuki wahana ini, termasuk Sehun. Yoona dan Sehun memilih kursi di deret ke empat, cukup jauh dari bagian terdepan — kursi yang diinginkan Yoona.

Begitu kereta mulai berjalan di relnya, tidak sampai semenit, keduanya sudah menjerit kencang ketika tengkorak yang jatuh dari langit-langit menyambut di pintu masukTeriakkan dari penumpang lainnya juga tidak kalah nyaring.

.

.

CIT!

BRAK!

Kereta berhenti saat bebatuan mulai berjatuhan dari langit-langit. Rel itupun mulai terangkat, membuat badan kereta terbalik ke arah kanan. Beberapa asesori gothic yang seharusnya tersembunyi pun mulai berjatuhan. Awalnya, penumpang hanya mengira pemandangan di depannya sebagai pertunjukan dalam wahana itu. Akan tetapi, getaran yang mereka rasakan semakin kencang. Lampu-lampu berwarna merah dan hijau tua yang memberi nuansa seram itu pun mulai meredup. Debu-debu mulai berjatuhan dari langit.

“Yoong, pegangan!!!”

“Sehun, ini gempa bumi! Aku takut!”

“YOOONG! Sehun langsung memeluk yeoja di sampingnya. Tampak penumpang yang lainnya mulai panik, tetapi besi penahan di kursi mereka tetap terkunci rapat. Kereta pun terbalik. Yoona mulai tidak sadarkan diri karena kaget.

.

.

.

“Yoong, kau sudah sadar?” Pria itu masih menepuk-nepuk pipi kekasihnya itu.

Dengan tenaganya yang tersisa, Yoona berusaha mengangkat kepalanya. Pikirannya memutar ulang rentetan kejadian sebelum pertistiwa itu terjadi. Matanya hanya menangkap satu sosok, yaitu wajah Sehun. Kepalanya bersandar di paha kurus Sehun.

“Ah, kakiku sakit, Hun!” Ujar Yoona untuk pertama kalinya saat ia sadar. Tangannya berusaha meraih bagian bawah kakinya itu.

Sehun memindahkan kepala Yoona ke lantai. Tangannya berpindah ke bagian terbawah tubuh yeoja itu. Pikirannya sibuk mencari cara menyelematkan kekasihnya itu.

“Aku rasa ini fraktur phalanges, Yoong!” Ucap Sehun setelah menganalisis perubahan-perubahan abnormal di bagian kecil tubuh Yoona itu. Ia tahu sedikit tentang medis. Wajar saja, hyung-nya adalah seorang dokter bedah dan Sehun pernah menjadi anggota PMK saat sekolah dulu.

“Apakah itu parah?” Yeoja itu sudah dalam posisi duduk.

“Akan kulakukan pertolongan pertama. Tahan sebentar Yoong!”

Ia percaya semua yang akan dilakukan Sehun. Tapi, ada kekhwatiran tersendiri dalam batinnya. Ia adalah seorang ballerina, jika terjadi sesuatu pada kakinya, maka karirnya akan hancur. Oleh karena itu, ia membiarkan Sehun merawat cederanya itu. Hati kecilnya berharap tidak terjadi apa-apa.

Sehun masih mempersiapkan bahan pertolongan pertama seadanya itu. Perhatiannya Yoona beralih ke sesuatu yang lain. Noda kemerahan itu membasahi kaos di bagian pundak Sehun. Diperhatikannya jejak itu —  darimana asalnya. Rambut di bagian kiri kepalanya tampak basah. “Tapi, Hun, kepalamu juga berdarah.”

Sehun tidak menjawab. Ia memulai prosedur pertolongannya itu. Diambilnya beberapa potong kayu dan kain. Ditariknya jari-jari kaki Yoona itu dengan sekali tarik, membuat Yoona berteriak histeris. Sakitnya bukan main. Tapi, Sehun tidak peduli. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya itu. Air mata Yoona mulai menjejaki pipi tirus miliknya.

“Mianhae, Yoong! Tahanlah sebentar!”

.

.

Dengan cahaya redup dari ponsel masing-masing, penumpang yang selamat dari reruntuhan berkumpul di satu tempat. Mereka hanya berharap bantuan segera datang. Bencana alam memang sering terjadi di wilayah Amerika, tapi di negara bagian Maryland, ini termasuk jarang. Mungkin, tornado atau angin puyuh adalah bencana musiman, tapi tidak dengan gempa.

Ada sekitar 6 orang yang berkumpul di dekat Sehun dan Yoona. Satu jam yang lalu, seorang wanita meninggal akibat besi yang menembus abdomen (perut) atasnya. Cairan berwarna merah itu masih tampak dari kain yang menutupi tubuhnya. Suara tangisan penumpang lain yang sedari terdengar mulai berkurang. Tampaknya oksigen dalam ruang sempit ini mulai menipis.

“Hun, kakiku mati rasa!”

Sehun masih terdiam. Kelopak matanya terasa berat. Sudah lebih dari 4 jam keduanya terjebak dalam ruang sempit itu. Yoona sadar kalau rumah hantu ini benar-benar menakutkan. Beberapa boneka menyeramkan tampak di sela-sela reruntuhan. Tidak ada jalan keluar bagi mereka karena reruntuhan memenuhi ruang di kanan dan kirinya. Seorang pria di sebelahnya tersu saja menggumam sambil mengangkat kedua tangannya. Mungkin, ia sedang berdoa, pikir Yoona.

.

.

“Sehun, jawab aku, eoh? Jangan buat aku khawatir!” Yoona menepuk-nepuk pipi kekasihnya itu, sama persis dengan yang dilakukan Sehun tadi. Sehun sudah tidak sadarkan diri. Karena penasaran dengan luka yang diderita Sehun, Yoona membuka perlahan kain yang membalut kepala Sehun itu. Gumpalan darah di bagian kiri kepalanya itu sudah mengental. Tidak ada darah yang keluar lagi. Yeoja itu merasa sedikit lega. Mungkin, Sehun tidak sadar karena terkejut dan telah kehabisan tenaga.

Tidak sampai 10 menit, langit-langit di atas mereka mulai terbuka. Suara-suara tim SAR membangkitkan semangat hidup Yoona lagi. Ia tidak henti-hentinya berteriak, “Help us! We’re stuck here! Here are lot of injured people! Please help us quickly!”

#Flashback End#

.

Entah apa yang kupikirkan sekarang. Badanku membatu tanpa perlu kuperintah. Suara eomma yang menggedor-gedor kamarku pun tak menarik perhatianku. Aku tidak percaya bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengannya. Ia telah merusak karirku. Hanya itu yang kutahu sekarang. Tapi, kenapa dadaku terasa sakit? Kenapa air mata ini tidak mau berhenti?

BRAK!

“Yoong, gwenchanayo?” Tanya eomma khawatir. Ia langsung memelukku. Kehangatan ini kuharap dapat membuatku sedikit tenang.

Eomma …” suaraku mungkin terdengar pelan, “Aku bertemu dengannya tadi … Oh Sehun.” Air mataku tidak terbendung lagi. Ia tahu apa yang terjadi dalam reruntuhan itu. Eomma juga membenci Sehun, sama sepertiku.

Eomma semakin kencang memelukku. Aku yakin hanya eomma yang mengerti. Mungkin ia juga punya pertanyaan yang sama denganku, bagaimana pria itu bisa berada di Seoul?

.

.

Fraktur phalanx (phalanges) …

Aku teringat dengan penjelasan dokter 6 bulan yang lalu. Patahan di ketiga jari kakiku memang tidak fatal. Aku tidak ingat penyebabnya. Tapi, salah satu korban yang selamat sempat berbicara tentang kejadian itu. Katanya badanku tersangkut di besi penahan kereta yang terjatuh ke samping. Walaupun Sehun berhasil membuka besi penahan, tetapi dinding kereta sempat menghimpit kakiku. Dokter bilang pertolongan pertamaku memang tepat, tapi kurang teliti. Pasalnya, pergelangan kakiku dan otot di sekitarnya memar, jadi aliran darah tidak optimal. Bagian ujung kakiku menerima sedikit sekali asupan nutrisi selama empat jam, ditambah bebat spalx yang dibuat Sehun agak kencang. Akibatnya, ujung-ujung jariku mengalami nekrosis (kematian sel-sel). Dua dari ujung jari kakiku harus diamputasi. Seorang ballerina tanpa dengan delapan jari kaki, apa aku seekor laba-laba? Masa depanku hancur sejak saat itu.

Selama disana, aku tinggal bersama appa — yang menjalankan cabang perusahaan kosmetik dari perusahaan pusat di Korea. Karena jari kakiku yang tidak sempurna, terpaksa aku harus pindah dari sekolahku yang lama — Maryland School of Arts — ke Seoul bersama eomma. Sebuah sekolah biasa, tanpa ada kelas jazz ballet seperti dulu lagi.

Kepindahanku ke Seoul juga untuk menjauhi pria itu — Oh Sehun. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Sebelum aku pindah ke Seoul, sesekali ia datang ke rumah kami, tapi appa selalu mengusirnya. Aku membencinya, atau mungkin aku melampiaskan semua rasa kesalku kepadanya. Aku juga tidak mengerti.

Entah apa yang merasukki sekarang. Aku ingin tahu kabarnya. Selama enam bulan terakhir aku menganggap sosok itu sudah mati. Tapi, kemarin aku melihatnya lagi. Apa ia merasakan hal yang sama denganku? Kenapa ia kembali ke korea? Kenapa ia tidak pernah mencariku lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di kepalaku.

.

.

Sudah satu minggu berlalu sejak pertemuan singkat itu. Setelah lama mencari, akhirnya kudapatkan juga nomor telepon itu. Seseorang yang mengenalkanku pada Sehun — Ethan Hunt — siswa dari kelas musik, sahabatnya Sehun. Walau keduanya mengambil instrumen yang berbeda, tapi keduanya tetap akrab. Oh ya, Sehun adalah seorang pianis, sedangkan Ethan seorang gitaris.

#percakapan seharusnya dalam bahasa inggris#

“Ethan, apa kabar? Apa kau masih ingat aku — Im Yoona?”

“Oh, Yoong, darimana saja kau? Apa kau tahu betapa rindunya aku, huh?” Gelagat Ethan tidak berubah dari dulu. Ia adalah seorang yang sangat ramah.

Setelah lama berbasa-basi, aku memberanikan diri untuk serius. Pertanyaan di kepalaku serasa ingin meluap keluar.  Rasa penasaran mulai membakarku dari dalam.

“Ethan, aku melihat Sehun minggu lalu. Apa kau tahu kalau ia kembali ke Korea?”

Ethan terdiam beberapa detik, “Yoong, kau tidak tahu, huh?”

“Tahu apa? Aku masih belum mengerti.” Genggamanku di gagang telepon semakin kuat. Perasaanku mulai tidak enak.

“Sehun kembali ke Korea sebulan setelah kau pergi. Bukankah ia sudah memberitahumu?”

“Aku putus hubungan dengannya, jadi aku tidak tahu apapun tentangnya sejak kepindahanku. Ethan, apa kau tahu kenapa ia kembali ke Korea?

“Yoong, apa kau benar-benar tidak tahu?”

“Apa maksudmu? Apa ada masalah?”

Ethan kembali terdiam. Ingin rasanya kututup telepon ini sebelu aku menyesal. Tapi, kuurungkan lagi niatku itu.

Akhirnya, suara dari seberang menyahut kembali. “Sebenarnya …”

.

.

Mwo? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanganku gemetar, begitu pula badanku. Bibirku terasa kaku. Aku belum percaya sepenuhnya dengan Ethan. Aku harus memastikannya.

Segera kuambil kunci mobil milik eomma. Langkahku semakin cepat menuju garasi mobil. Mungkin eomma akan marah karena aku memakai mobilnya tanpa izin. Aku harus bertemu dengannya. Hanya itu yang terlintas di pikiranku sekarang.

Rumahnya tidak jauh, mungkin 30 menit dari rumahku. Eomma-nya Sehun adalah teman kuliah eomma-ku dulu. Lagipula, aku pernah berkunjung ke rumahnya saat kami masih pacaran, tepatnya saat liburan musim panas.  Apakah ia akan membukakan pintu untukku?

.

.

knok .. . knok … knok …

Kenapa aku jadi gelisah?

Apa pintu ini akan terbuka untukku?

Decit pintu kayu yang terbuka menjadi alarm menakutkan untukku. Seorang wanita paruh baya tampak dari balik pintu itu. Sudah lama aku tidak melihatnya, tapi ia masih saja tidak berubah. Nyonya Oh sudah berdiri di depanku.

“Annyeonghaseyo, eommo-nim, maafkan aku yang sudah lama tidak berkunjung kemari.”

“Kau anaknya Nyonya Im, kan? Yoona?” Jawab wanita tua di depanku. Keriput di wajahnya terlihat jelas tanpa make up.

Ne, maafkan aku datang tanpa memberitahu terlebih dahulu.” Kubungkukan badanku sesuai dengan norma kesopanan ala Korea.

Gwenchana, aku hanya sedikit terkejut karena sudah lama aku tidak melihatmu.” Senyum di wajahnya terlihat sedikit terpaksa. Ia pasti menyembunyikan sesuatu.

“Apa Sehun ada di rumah? Aku ingin bertemu dengannya?”

Nyonya Oh tampak gelisah ketika aku menyebut nama Sehun. Apa yang dikatakan Ethan itu benar? Aku harus memastikannya sendiri.

“Yoona-ssi, kupikir aku perlu memberitahumu sesuatu sebelum kau bertemu dengannya.” Nyonya Oh memegang pundakku. Aku rasa ada sesuatu yang salah di rumah ini.

.

.

Ruangan ini adalah ruang favorit milik Sehun. Setelah berbincang sebentar dengan Nyonya Oh, aku tahu apa yang terjadi dengannya. Tapi, aku belum yakin. Penuturan dari dua orang itu masih belum meyakinkanku. Aku perlu bukti yang akurat. Tidak banyak barang dalam ruangan ini.

Terlihat pria itu duduk manis di depan piano. Badan kurus itu sudah lama tak kulihat. Sosok itu bagaikan malaikat dari sisi belakang. Tangan kirinya terlihat menari-nari di atas tut piano. Ia masih tidak menyadari kehadiranku.

“Oh Sehun!” Panggilku. Aku yakin suaraku sudah nyaring.

Tidak ada respon.

“Sehun!” Panggilku untuk kedua kalinya. Seperti ada magnet yang menarikku, langkahku semakin dekat dengannya.

Tidak ada respon.

“Hun!”

Tidak ada respon.

Kepalaku terasa berat. Mataku sudah tidak kuat menahan luapan kristal-kristal bening itu. Tanpa sadar, tetes demi tetes keluar dengan sendirinya. Langkahku semakin gontai di dekatnya. Tanganku menahan raungan yang hendak keluar dari mulutku. Pria itu tak menghiraukanku, padahal aku tepat di belakangnya.

Sesak. Dadaku terasa sesak di dekatnya. Aku menyesal tidak melihatnya dari dulu. Kebencian yang kupendam selama ini meleleh sendiri. Aku menyesal telah membencinya.

Oh Sehun!

Tanpa diperintah, tanganku memeluknya dari belakang. Lengan kurusku melingkar di bahunya. Lehernya terasa dingin, sama seperti saat kami masih bersama dulu. Jari-jari tanganku terlipat rapi di dadanya. Ia tampak terkejut. Kubenamkan wajahku di pundak kirinya. Kubiarkan aliran air di pipiku berlanjut ke sweater-nya. Kubiarkan ia kebingungan melihatku.

“Yoong!”

Mianhae, Hun! Jeongmal mianhae!

Tak kubiarkan cengkramanku lepas darinya. Aku yang selama ini memikirkan diriku sendiri. Akulah yang egois selama ini. Kau benar-benar bodoh, Yoong!

.

.

Sehun berhenti bersekolah di Maryland School of Arts dan pindah ke Seoul. Setelah diselamatkan dari reruntuhan, ia mendapat perawatan khusus. Luka di kepala kirinya mungkin terlihat biasa saja, tapi cedera di lobus temporalis miliknya berakibat fatal. Area auditorik primer miliknya mengalami gangguan, sehingga indra pendengarannya juga terganggu. Seorang pianis dengan gangguan pendengaran adalah masalah yang besar. Oleh karena itu, Sehun harus mengurungkan mimpinya menjadi seorang pianis.

Ia tidak berani menemui Yoona sejak tahu tentang keadaan jari kaki Yoona. Ia mengurung diri di kamarnya selama beberapa hari. Ia malu untuk bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Karena kelalaiannya, mimpi Yoona harus berakhir. Hanya itu yang dipikirkannya.

.

.

Yoona kehilangan jari kakinya sehingga ia tidak dapat menjadi angsa putih lagi.

Sehun mengalami gangguan pendengaran di telinga kirinya sehingga jari-jari tangannya malu untuk menari-nari di atas tuts piano.

—Toes and Fingers—

.

.

E—N—D

Note:

Annyeong, Jinx is back!

Ini requestan dari Amu. Maafkan Jinx ya Amu, ceritanya jadi super duper loyo kaya gini 😥

Aduh, ini FF pertama Jinx setelah hampir 2 bulan terkena writer block syndrome. Mianhae, readers-deul!

Berhubung mulai besok Jinx sudah aktif kuliah lagi, doain ya mudahan dapat nilai yang super dan punya ide untuk cerita lainnya 🙂

jinx-2 (1)

13 comments

  1. Ceritax ga ketebak..diakhir cerita ada kejutan buat pembaca..sumpah ini keren bgt..simple tpi ngena bgt..end penutup, gue nangis bombay..aaaaa keren

  2. AAAAAAAAAAAAAAAA

    KAGEEEEEEE

    KAMU

    EMANG

    T-O-P!!

    NO FEELING DARIMANANYA SIH INI??

    SUMPAH INI FF BAGUS BEUD BIN NYESEK AKU SAMPE BERKACA-KACA BENERAN DI KAMAR ;;AAAAA;;

    *elap ingus*

    aku suka gaya berceritamu yang gak henti-hentinya bikin orang penasaran, bikin ngiri tau coz aku belum pernah bisa kea gitu >.<

    terus part favoritku:
    "“Hun!”
    Tidak ada respon.
    Kepalaku terasa berat. Mataku sudah tidak kuat menahan luapan kristal-kristal bening itu.
    Tanpa sadar, tetes demi tetes keluar dengan sendirinya.
    Langkahku semakin gontai di dekatnya. Tanganku menahan
    raungan yang hendak keluar dari mulutku. Pria itu tak menghiraukanku, padahal aku tepat di belakangnya.
    Sesak. Dadaku terasa sesak di dekatnya. Aku menyesal tidak melihatnya dari dulu. Kebencian yang kupendam selama ini
    meleleh sendiri. Aku menyesal telah membencinya.
    Oh Sehun!
    Tanpa diperintah, tanganku memeluknya dari belakang. Lengan kurusku melingkar di
    bahunya. Lehernya terasa dingin, sama seperti saat kami masih bersama dulu. Jari-jari tanganku
    terlipat rapi di dadanya. Ia tampak terkejut. Kubenamkan
    wajahku di pundak kirinya. Kubiarkan aliran air di pipiku
    berlanjut ke sweater-nya. Kubiarkan ia kebingungan melihatku."

    ^OHEMJI ITU
    paling romantis dan bittersweet bangeet uuuh ;______;

    MAKASIH BANYAK YA GE

    love love,
    amu coretcantikcoret *plak*

Tinggalkan komentar